Menanti Waktu

    Aku terduduk diam di kursi ruang tamu, memandang ke arah pintu depan rumah. Sudah berapa lama rasanya juga aku tak ingat, yang ku tahu hanyalah degup jantung ini selalu berirama, detaknya terasa agak kencang, tapi hanya terdengar oleh diri sendiri, sedang tampak dari luar diri hanyalah diri yang tengah duduk tanpa bersuara.

    Sungguh bukan degup jantung ini yang sebenarnya ingin kudengar, tapi ketukan pintu yang sedari tadi mata ini tatap. Dan tentu saja, ketukan itu bukan dari sembarang tangan, tapi dari seseorang yang tengah aku nantikan kedatangannya, entah sudah berapa lama itu, yang pasti terasa begitu lama dan panjang jarak waktunya.

    Hari itu waktu seakan terasa begitu melambat, padahal detik yang bergerak sama saja seperti biasanya. Tentu ini bukan karena jarum jam yang dibuat mundur kebelakang, atau batere jam yang dayanya sudah melemah.

    Ah, waktu takkan bisa dihentikan hanya dengan sebatas mencegat putaran jam di dinding ataupun yang melingkar di pergelangan tangan. Ini pasti karena aku yang tengah menanti waktu, seakan ingin bersegera tiba pada detik yang kumau, yaitu segera bertemu dengan tamu yang tengah kunantikan. 

    Handphone sedari tadi tak kusentuh sama sekali, hanya tergeletak saja ia di meja, tak pula aku ingat apakah sebelumnya sudah membuat janji temu atau belum. Tapi entah kenapa ada keyakinan dalam diri, bahwa akan ada seseorang nanti yang datang, mengetuk pintu rumah ini, dan dengan tersenyum akan kusambut ia.

     Kadang mungkin terasa begitu mengherankan, seorang aku yang sedari tadi tak bertemu dengan siapapun, atau bahkan saling mengirimkan pesan singkat untuk sekedar bertegur sapa dengan seseorang, juga tak ada telepon yang tersambung untuk membuat janji temu, tapi begitu yakin terduduk menanti ketukan di depan pintu itu. 

     Tentu saja tidak begitu, karena saat aku telah siap menyambut seseorang yang akan datang ke rumah ini nanti, aku sudah pastikan dulu keyakinannya kepada diri dan akan kupastikan pula jawabannya dari Allah.

    Yakin? Pada apa dan siapa? Lalu hanya dengan duduk terdiam saja membiarkan waktu yang terus berputar? Tanpa gerak laku apapun? Apakah dengan seperti itu bisa membuat yakin itu menjadi nyata jadi seperti yang aku ingin?

    Tanya itu seakan tumpah di kepala ini kemudian, bukan membuatku jadi merasa pusing, tapi tepat menyadarkan diri dari lamunan.

    Ah ya, ini tentu saja hanya lamunan, tapi nyatanya bisa saja keyakinan itu tetap ada di hati, bahwa di dalam hidup ini, kita semua pasti punya harapan yang bisa membuat kita tersenyum. Harapan yang dinanti hadirnya menjadi nyata dan ia datang membawa bahagia di hati.

   Tapi butuh berapa lama waktu hingga bisa sampai pada titik yang dinanti? Jika hanya diam saja tanpa berbuat apapun, sementara waktu jelas saja tak akan pernah berhenti, menunggu langkah kaki agar seirama dengan waktu, sedang langkah saja tak bergerak sama sekali.

    Saat aku terduduk tadi saja sudah semestinya aku tak hanya berdiam diri, tapi sungguh aku harus mempersiapkan diri. Menata diri dari ujung rambut sampai kaki, berpakaian terbaik dari yang aku punya, mengelola hati dan fikiran agar tak canggung yang tampak nanti, serta ucapan di bibir akan teratur tanpa membuat kata yang salah ataupun suara menjadi sumbang, hingga membuatku malu sendiri.

    Bukan hanya itu tentu, akupun harus mempersiapkan diri dengan amat baik, hingga binar mata ini akan selalu siap untuk melihat siapapun yang akan datang nanti. Dan tentu saja akan ada komunikasi yang baik dulu juga nanti hingga seorang tamu itu datang mengetuk pintu.

    Ya.. seperti itu memang seharusnya, selayaknya dalam hidup, dimana kita punya mimpi dan harapan, bukan hanya terdiam diri saja saat kita menantinya dalam waktu yang berputar. Pastinya kita perlu berikhtiar agar diri kita menjadi pantas untuk dipertemukan dengan impian dan harapan kita itu.

    Dan tentu hanya ridho Allah sajalah yang dapat membuat kita sampai di titik itu yaitu dipertemukan dengan impian dan harapan kita. Menata dan memperbaiki diri, lalu berusaha melakukan yang terbaik harus kita lakukan.

    Jangan biarkan waktu terasa bergerak lebih cepat, karena diri yang bergerak begitu lambat, selayaknya berdiam diri terlalu lama, seakan merasa lemah pada setiap keadaan. Atau justru ada banyak hal yang ingin dituju dengan tergesa, namun gerak tubuh tak sempat untuk mengejar.

    Dan di saat itu kita hanya akan tertinggal, bukan hanya oleh waktu tapi juga oleh kehidupan yang terus bergerak. Hingga  terasa lebih jauh jarak yang kita tempuh untuk bisa mencapai harapan dan impian kita itu.

    Tentang harapan dan impian kita  mungkin tak banyak orang yang melihat bagaimana ikhtiar yang kita lakukan untuk meraihnya, karena memang hidup itu bukanlah soal pandangan dan penilaian manusia.

Walau jika kemudian kan ada banyak mata yang memandang rendah impian dan harapan kita, tak mengapa terus saja bergerak, bergerak sesuai yang kita mampu, namun tentu sesuai dengan jalan yang diridhoi Allah.

    Lalu serahkan kepada-Nya sepenuhnya dan terima apapun yang menjadi ketetapan-Nya, karena pada akhirnya hanya ketetapan-Nya lah yang terbaik.

    Dan ingin ku bertutur pada "waktu" kali ini, bahwa aku harus melewati detik-detikmu dengan lakukan yang terbaik, namun bukan sekedar terbaik di mata manusia, tapi haruslah terbaik dimata Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

    Walau belumlah bisa sempurna aku melakukannya, atau bahkan aku masih begitu tertatih dalam berusaha, tapi tak boleh aku lelah untuk berusaha melakukan yang terbaik itu, karena Dia pun akan selalu menghargai setiap prosesku.

    Hingga akhirnya Dia ridho untuk mempertemukan aku dengan semua impian dan harapanku, semua yang terbaik dari-Nya yang utamanya adalah bisa mencintai-Nya dengan utuh, hingga husnul khotimah. Ucapan inipun akan menjadi doa yang seirama dengan doaku untuk semua sahabat.

Setetes lagi cerita di ilmair, disalin dari tulisan saya di medsos untuk tantangan menulis. Semoga menginspirasi. 

Previous article

Next Post

Next article

Previous Post