My Goals, Kamu Di Mana? part 5

    Ilmair sambung lagi cerita My Goals, Kamu Di Mana? Udah sampai part 5 ya (sebelumnya My Goals, Kamu Di Mana? part 4), semoga menginspirasi sahabat pembaca ilmair semua ya aamiin. Humm ... sebenernya ini naskah cerita faksi (campuran fiksi dan non fiksi) saya. Tertulis di facebook saya sekitar 1 tahun lalu, saat rutin menulis setiap hari sebagai tugas komunitas menulis online. Baru dapat kurasi dari kakak editor kelas menulis juga, dapat kritik serta masukan yang banyak banget, tentu saja perlu perombakan lagi biar lebih menarik ceritanya. Hihi ... iya saya berharapnya cerita ini bisa dibukukan. Ah, masih perlu banyak belajarlah untuk saya nerbitin buku solo.

    Eiya, buat sahabat yang mau ikut kelas menulis online cerita fiksi, non fiksi, artikel, copywriting, skenario dan lain-lain bisa kebagian kontak ilmair saja ya.

    Sekarang kita langsung lanjutin tulisan "My Goals, Kamu Dimana? part 5"-nya ya. Eh, sahabat juga boleh share pendapat, kritik dan nasehatnya ya di kolom komentar. Senang sekali saya kalau ada yang mau kritik tulisan ini. Selamat membaca ...



    Ah, sayangnya pintunya baru kubuka sedikit saja, karena kata-kata itu belum terasa tepat menyentuh bongkahan beku di dalam hati. Hanya seperti mengambang walau tersimpan dalam ingatan, dan sebatas membuat aku mengerti tentang keadaan Pak Ardian.

    Aku pamit pulang ketika adzan ashar berkumandang. Bukan dengan tangan kosong walau tanpa closing-an, karena dari pertemuan itu aku menerima semangat dan juga nasehat baik dari Pak Ardian. Apalagi beliau juga masih membuka peluang untuk bisa aku follow up di kemudian hari. Ya … masih ada kesempatan closing di hari nanti, pikirku dengan percaya diri. 

****

    Hari-hari berikutnya masih diisi dengan kegiatan mencari prospek. Mengunjungi toko, pasar dan juga mall, menyapa orang-orang baru, memperkenalkan diri serta menjelaskan produk.

    Ah, sungguh kegiatan ini tak pernah terpikirkan sebelumnya olehku. Seorang Nayra yang pendiam ini sedikit demi sedikit bisa belajar juga untuk membuka diri, berbicara dengan orang-orang baru.

    Secara teori aku mungkin belajar hal itu di beberapa training yang aku ikuti, tapi secara prakteknya aku belajar langsung dari Mbak Tifani. Ya, sudah beberapa kali Mbak Tifani mengajakku untuk mencari prospek di tempat-tempat umum. Dari berbasa-basi, berkenalan, hingga bertukar nomor handphone dan juga kartu nama.
    
    Namun, menjalani bisnis ini memang bukanlah suatu hal yang mudah, karena bisa dibilang seribu penolakkanlah yang aku terima di sini. Dari muka masam yang tampak saat aku mulai memperkenalkan diri, sampai penjelasan panjang lebar yang berakhir dengan jawaban “tidak”, walau diawali dengan alasan “tanya istri atau suami dulu” serta “saya pikir-pikir dulu”. Ada juga prospek yang sampai minta dibuatkan ilustrasi perhitungan premi dan manfaat, tapi setelah aku “follow up” kesekian kalinya tetap saja berujung gagal closing dengan berbagai alasanya.

    Berbulan-bulan aku lakukan rutinitas itu, kupelajari juga bagaimana cara menghadapi keberatan calon nasabah dengan mengikuti training yang diadakan kantor agency maupun kantor pusat. Tapi entah kenapa begitu sulit rasanya untuk aku 'pecah telor' mendapatkan nasabah.

    “Usaha kamu belum maksimal Nay! Kamu belum menemukan goals kamu kan Nay? Perhitungan yang Mbak pernah ajarin itu belum kamu bikin kan? Masih prospek mengikuti kata hati? Kalau hampir seharian hujan, kamu enggak berangkat keluar untuk cari prospek, kan? Ah, masih mengikuti aliran airmu itu ya Nay?” Mbak Tifani justru mencecar dengan rentetan pertanyaan saat aku mengeluhkan susahnya mendapatkan nasabah.

    Ah, mungkin Mbak Tifani benar, karena memang selama ini aku menjalani bisnis ini masih dengan energi yang setengah-setengah, tidak seratus persen jiwaku berada di sini. Terkadang masih ada juga alasan-alasanku untuk tidak melakukan prospek dalam satu hari. Walau kata ‘menyerah’ tak pernah tersebut juga dalam ucapan. Selalu ada saja dorongan untuk mengangkah, selemah apapun aku bergerak.

    “Kamu juga, jangan sering-sering habisin waktumu itu untuk dengerin curhat prospek dong! Segera pamit pulang, batasi waktu follow up-mu itu Nay! Untuk pendekatan boleh, tapi liat kondisi juga, kalau sekiranya enggak mengarah pada closing, ya lewatin aja Nay …” sambung Mbak Tifani.

    Ah, iya, diantara kegiatan mencari prospek ini, cukup sering juga aku mendengar curahan hati dari para calon nasabah. Baik itu prospek yang sudah kesekian kalinya aku temui, maupun orang baru. Entah kenapa, mungkin memang karena pada dasarnya aku ini suka mendengarkan, hingga perbincangan yang semula bertujuan untuk menghasilkan closing-an itu pun berubah menjadi sesi curhat. 

    Cerita yang aku dengar tentu saja beragam, dari mulai keluhan seputar klaim asuransi, kenakalan beberapa oknum agennya, hingga masuk ke ranah pribadi.

    Di sini mataku seperti seolah dibuat terbuka, melihat luasnya kehidupan yang dilalui beragam manusia. Jika selama ini aku sering mengeluh seakan diri sendirilah yang paling menderita, nyatanya setiap orang pun dalam hidupnya pernah memiliki rasa yang sama. Ya, sama-sama beranggapan bahwa masalah hidupnyalah yang paling besar. Walau diantaranya ada juga yang berhasil keluar dari rasa itu, lalu menggantikannya dengan rasa syukur, ketika mereka mampu mengambil hikmah dari semua hal yang telah dilaluinya, serta mampu berempati dengan masalah-masalah orang lain.

    Selain itu aku juga mendapatkan banyak nasehat dan pelajaran di sini, utamanya adalah tentang perjuangan hidup. Ya, nyatanya hidup itu memang sebuah perjuangan bukan? Semua orang memiliki masalah dan semua itu dihadapi dengan berjuang, semua orang punya mimpi juga harapan, lalu menggapainya dengan berjuang.

    “Ah, Dek nasib Adek jangan seperti saya ya. Jangan sampai Adek salah dalam memilih pasangan hidup. Cari pasangan yang sholeh, yang paham agama dan mampu menghargai wanita,” salah satu pesan seorang Ibu yang kata-katanya selalu melekat di kepala ini. Seorang Ibu yang pernah mengalami kekerasan di dalam rumah tangganya, mendapat pelakuan kasar secara fisik dan psikis dari sang suami yang kini telah menjadi mantannya.
    “Saya mah sekarang fokus ngurusin malaikat-malaikat kecil saya aja Dek, biar bisa mengantarkan Ibunya ini ke syurga. Walau enggak mudah juga berjuang sendirian Dek, tapi ya harus bisa. Lagipula Allah enggak akan kasih ujian melebihi batas kemampuan hamba-Nya bukan? Jadi in syaa Allah saya pasti bisa,” ucap Ibu itu dengan mata berkaca-kaca.

    Aku yang duduk di depanya hanya bisa terdiam dengan genangan air di kedua mata ini, sungguh tak tahu harus berucap apa untuk meresponnya. Karena rasanya di sesi curhat ini, akulah yang diberi nasehat dan juga hikmah, bukan sebaliknya. Seorang Ibu dengan segala masalah hidupnya itu telah menemukan sendiri kekuatan dan kebijaksanaan dalam dirinya, yang tentu saja itu berdasarkan pada iman kepada-Nya.

    Ya, memang seringnya begitu, setiap kali aku memasuki sesi curhat dari para calon nasabah, nyatanya diri inilah yang mendapatkan sesuatu, entah itu berupa hikmah, pelajaran dan juga nasehat. Telinga ini memang hanya cukup medengarkan saja, mulutku pun hanya mampu memberikan sedikit semangat dan juga berberapa kalimat empati, tapi selebihnya mereka semualah yang nyatanya berbagi kebaikkan kepadaku.

    Itulah salah satu hal yang aku sukai saat menjadi seorang agen asuransi, bisa bertemu banyak orang, kenal dengan orang-orang baru, mendapatkan berbagai cerita pengalaman dan juga motivasi kehidupan secara nyata. Walau disamping itu ada juga ketidaknyamanan yang aku dapat ketika berkenalan dengan beberapa orang baru, terutama karena aku merupakan seorang perempuan yang masih single. Modus pendekatan yang kulakukan demi untuk mengejar target closing-an, terkadang mendapat sambutan modus juga dari beberapa pria yang mengakunya masih single. Ya, tak tahu juga kenyataannya dibelakang seperti apa.

Previous article
Next article

9 Komentar

  1. Iya kasang ketika kita niat baik masih aja ya ada orang yg memodusi kita. Jadi inget jaman aku menjadi agen MLM sebuah kosmetik. Heheheh hampir sm dg cerota di atas. Ceritanya bagus deh.

    BalasHapus
  2. Dari seorang agen asuransi kita bisa belajar tentang karakter berbagai macam manusia, Mmm, pesan yang menarik nan tersurat dalam cerita. Jadi ingin membaca dari awal, kak, saya

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah, ada juga yang nulis sastra seperti CerBung begini. Keren Kak, bahasanya sederhana dan alurnya ngalir gitu.

    Teddy juga masih belajar nulis, jadi Teddy rasa nggak berhak menilai baik buruknya, menurut Teddy ini udah bagus Kak. Mungkin Teddy juga akan baca dari Bab 1-nya.

    Terima Kasih Kak, semangat terus berkarya.

    BalasHapus
  4. Dulu pernah coba2 bikin cerpen, tapi gak ada yang tuntas. Sekarang, krasyikan ngeblok, lupa sama keinginan bikin cerita fiksi.

    BalasHapus
  5. keren ini cerbungnya kalau dijadiin 1 buku biar awet ceritanya, ehehe..

    BalasHapus
  6. Aww keren ceritanya. Alurnya menarik. Jadi penasaran baca part2 sebelumnya karena langsung baca yg part 5 ini.

    BalasHapus
  7. Cerita yang menarik. Menjadi agensi asuransi bukan hal yang mudah, terlebih harus berhubungan dengan banyak orang. Tetap semangaat,

    BalasHapus
  8. Jadi agen asuransi tuh enak2 ngeri sih hehe. ngeri kalau si pembeli polis ngga memahami apa yg dibeli tapi gamau nanya. cuma berdasar prasangka aja, akhirnya agen yg kena getahnya.

    BalasHapus
  9. Aku follow beberapa agen asuransi yang bener-bener mengedukasi jenis asuransi. Dan memang begitulah suka duka jadi agen asuransi. asyik ceritanya, Kak. jadi pengen baca kisah sebelumnya

    BalasHapus

Silahkan share saran, kritik, ilmu, inspirasi positifmu di ilmair. Berkomentarlah dengan bijak. Spam akan saya hapus.
Mohon di-setting publik profile blog-nya ya, agar tidak ada profile unknown yang bisa menjadi broken link di blog ini.
Terima kasih ....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel