Musibah Sebagai Hukuman, Penghapus Dosa atau Pengangkat Derajat?
Semua yang ada di dalam hidup memang tak ada yang abadi ya sahabat? Semuanya berputar selayaknya roda, silih berganti datang suka dan duka, senang dan sedih, mudah dan sulit. Begitupun dengan masalah hidup atau musibah, pasti akan selalu ada sela-sela kebaikkan hidup yang kita terima.
Ada kalanya kita bertanya-tanya apakah masalah hidup atau musibah yang datang itu sebuah hukuman, penghapus dosa atau justru pengangkat derajat dari-Nya untuk kita? Humm ... gimana menurut sahabat? Pernah terlintas tentang hal itu dan menemukan jawabannya?
Blog ilmair sendiri rasanya pernah menulis artikel yang hampir serupa dengan ini ya, di postingan yang berjudul "Apakah setiap masalah yang terjadi di dunia ini adalah suara Tuhan?" - Ish sekitar 12 tahun yang lalu ya itu? Tulisan saya saat itu rasanya masih berantakaan banget ya. Duhhh ...
Kali ini blog ilmair ingin bahas lagi sedikit, selain karena pertanyaan itu sempat terlitas dibenak saya saat lagi menghadapi masalah hidup, saya juga sebenarnya terinspirasi dari tulisan seseorang di media sosial tentang pertanyaan ini. Apalagi awal tahun 2021 berentet juga musibah dan berita duka menghampiri tanah air kita ya. Dari jatuhnya pesawat SJ182, longsor di Sumedang, wafatnya beberapa ulama (diantaranya Syekh Ali Jaber dan Habib Ali Bin Abdurahman Assegaf), banjir bandang di Kalimantan Selatan, gempa di Mamuju Sulawesi Barat, sampai erupsinya Gunung Semeru di Jawa Timur. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, hasbunallah wani'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nasir.
Ya ... di saat pandemi covid masih belum juga usai, berentet musibah itu memang membuat hati kita seperti diketuk-ketuk ya sahabat? Entah itu disadarkan akan kematian, diingatkan untuk segera belajar ilmu syar'i sebelum Allah mengambilnya (dengan mewafatkan ulama), ditumbuhkan empati dalam hati untuk membantu sesama dan hal lainnya.
Ah ya Allah ... carut marut di negeri ini juga masih kita lihat dan rasakan. Mungkin musibah yang terjadi adalah peringatan dari-Nya ya, agar kita semua berbenah diri, menjauhi maksiat dan bertaubat, lalu taat pada aturan-Nya secara kaffah.
Lalu balik lagi ke pertanyaan semula, saat kita menghadapi masalah atau musibah, apakah itu sebuah hukuman, penghapus dosa atau pengangkat derajat? Ah, menilai dari kaca mata kita sendiri tentu nggak akan bisa ya, tapi ternyata katanya kita bisa loh melihat tanda-tandanya. Tapi tentu saja pandangan ini hanya untuk bercermin pada diri sendiri ya sahabat, bukan untuk menunjuk pada orang lain.
Dan apa sih yang menjadi tanda-tanda itu? Perhatikanlah hadis berikut, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ،فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah Ta’ala mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang rida, maka Allah akan meridainya. Dan barangsiapa yang murka (tidak menerimanya), maka Allah murka kepadanya” (HR. At-Tirmidzi).
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah berkata,
“Tanda bala (musibah) sebagai hukuman dan sebagai pembalasan adalah orang tersebut tidak bersabar, bahkan bersedih dan mengeluh kepada makhluk. Tanda bala (musibah) sebagai penebus dan penghapus kesalahan adalah kesabaran yang indah tanpa mengeluh, tidak bersedih dan tidak gelisah, serta tidak merasa berat ketika melaksanakan perintah dan ketaatan. Tanda bala (musibah) sebagai pengangkat derajat adalah adanya rida, merasa cocok/sesuai (atas takdir Allah), dan merasa tenang jiwanya serta tunduk patuh terhadap takdir hingga hilangnya musibah tersebut” (At Tabaqatul Kubra As-Sya’rani, hal. 193).
Ah ya Allah, jadi tanda masalah atau musibah sebagai hukuman, penghapus dosa atau pengangkat derajat adalah dengan melihat sikap kita dalam menghadapinya ya sahabat. Apakah kita ridho atau tidak atas qada yang Allah hantarkan, yang kemudian membuat Allah ridho ataupun murka kepada kita. Huhu ... untuk hal ini sayapun masih perlu berbenah diri.
Walau kemudian timbul lagi pertanyaan dibenak saya, kalau begitu apakah saat terjadi masalah, kita nggak boleh ya bersedih dan bercerita pada siapapun?
Humm ... ternyata nggak secara mutlak seperti itu ya maksudnya. Katanya boleh saja kita menceritakan masalah selama tujuannya adalah untuk mencari solusi dan musyawarah. Jadi bukan untuk berkeluh kesah dan nggak ridho atas ketetapan-Nya ya, karena kita tetap harus berhusnuzon kepada Allah bahwa semua yang terjadi sudah menjadi takdir yang harus kita lewati dan pasti ada hikmah dibaliknya.
Kita boleh saja bercerita dengan tetap menunjukkan ketegaran dan rasa syukur kepada Allah, tapi bukan kepada semua orang yang kita temui, hanya sebatas pada orang yang bagi kita bisa memberi solusi.
Untuk bersedih ... juga bukan berarti kita nggak boleh menangis ya saat menghadapi masalah atau musibah, tapi kembali lagi pada bentuk keridhoan kita atas ketetapan-Nya tadi, menangisnya karena apa? Berlebihan atau tidak?
Karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pun menangis ketika anaknya, Ibrahim, meninggal, sesuai sabdanya,
“Air mata berlinang dan hati bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu kecuali yang diridhai Allah. Dengan kepergianmu ini wahai Ibrahim, kami sangat bersedih.” (HR. Al Bukhari - Muslim)
MasyaAllah makasih banget postingannya ini menenangkan sekali mbak.
BalasHapusKebetulan sedang kena banyak masalah, tapi yang terpenting masih diberikan kesehatan aja buat saya dan keluarga. Semoga hal lainnya, bisa digantikan dengan yang lebih baik.
semoga Allah mudahkan ya Kak, diberikan jalan keluar terbaik dari setiap masalah, digantikan yang terbaik, sehat selalu semuanya aamiin. semangat terus Kak Renov ...
HapusAamiin yaa Robbalalamin. Makasih banyak doanya.
HapusSaya baca ulang lagi artikelnya dan menyadari kalau Kak Endah sudah lama banget nulis blognya. Bahkan ada artikel dari 12 tahun yll whoaaa