Sedih, Susah dan Sakitmu Takkan Sia-Sia

     Ada ribuan kata yang tumpah dari bibir ini bersama tangis. Walau memang tak secara utuh apa yang ada di dalam hati ini tercurah, tapi setidaknya rasa sesak di dada ini pun perlahan-lahan berkurang, hingga akhirnya lepas. 

    Pelukan hangat yang begitu erat pun menjadi obatnya kemudian. Hingga aku bisa merasakan kelegaan, setelah perasaan sedih yang membeku dalam hati ini perlahan terhapuskan oleh kehangatan. Tak perlu hal yang besar, cukup dengan satu pelukan hangat itu saja.


    Seseorang yang sedari tadi berada di sampingku, wajahnya tak menunjukkan apa-apa, hanya terlihat tulus saja mendengar semua yang aku tumpahkan. Terkadang tergambar guratan empati di wajahnya, tapi tetap dengan ketenangannya ia menunggu isakkan terakhirku keluar. Lalu siap kedua tangannya merangkul untuk kemudian mendekapku.

    Hingga sesegukan itu datang, seakan pertanda bahwa tangis ini sudah terlalu lama, memberi kode pada diri bahwa ini waktunya untuk menarik napas panjang, hingga hati ini pun menjadi tenang. Lalu ada jeda sesaat untuk kami sama-sama terdiam, tak berucap sepatah kata pun.

    "Sambil berdzikir Ra, jangan biarkan pikiranmu kosong, hatimu pun harus terus bergerak meraba rasa terdalammu pada-Nya, jangan biarkan ia tertidur sementara matamu terjaga."
Suara lembut itu yang kudengar kemudian, membuat bibir ini akhirnya berucap menyebut asma-Nya.
    
    "Sudah lega sekarang?" tanyanya beberapa menit kemudian, yang menghasilkan anggukkan di kepala ini.

    "Sekarang coba kamu lihat keluar jendela mobil, tatap sekeliling sambil terus berdzikir mengingat-Nya dan pandang tiap sudut tempat ini lalu perhatikan keindahannya. Rasakan itu dengan hatimu bukan hanya sekedar saja mata memandang.

    Dan tanyakan pada hatimu, apakah alam diciptakan dengan sia-sia? Pohon-pohon yang rimbun, rerumputan liar yang tumbuh di hamparan, bunga-bunga dengan ragam warnanya yang cantik, bahkan lumut di bebatuan dan lumpur yang menggenangi sebagian tempat di sungai itu, serta semua yang ada di sekitarnya hingga di bagian-bagian dalam dari tempat ini, apakah ada diantaranya yang diciptakan secara sia-sia?" 
Ucapan itu membuat aku termenung, melihat alam di sekeliling  dengan begitu terang, walau rasanya mata ini masih sedikit bengkak karena sisa tangisku tadi. 

    "Walau di sini bukan tempat keramaian manusia, di mana kita enggak bisa melihat dan merasakan manfaatnya setiap waktu, tapi seluruh hamparan alam ini mengandung jutaan manfaat kan Ra? Allah Subhanahu Wata'ala menciptakan semuanya dengan tujuan dan maksud, enggak ada satupun yang luput. 
    
    Lalu kita semua juga pasti begitu, diciptakan oleh-Nya dengan tanpa sia-sia. Sudah pasti Dia menginginkan semua hamba-Nya beribadah kepada-Nya, namun bukan tanpa warna semisal plek saja semuanya teratur beribadah serempak tanpa sedikitpun ada perbedaan. Dengan wajah menatap lurus kaku ke depan, menjalankan semuanya di waktu yang sama persis, bahkan dalam detiknya sekali pun. Enggak begitukan ya dunia Ra?"
Kali ini kalimat panjang tumpah dari bibirnya, aku mendengarnya dengan tanpa sedikitpun ada rasa yang tak nyaman,  justru semakin aku menyimak dengan baik semakin terasa hangat menyentuh ke hati ini.

    "Kita semua diciptakan-Nya tanpa sia-sia dan itu untuk beribadah kepada-Nya. Namun, hamparan kehidupan yang Dia berikan untuk tempat kita beribadah itu sungguhlah berwarna,. Ada yang kontras seperti kesulitan dan kemudahan, sedih dan bahagia, tangis dan tawa. Itu pun pada tiap orang akan berbeda-beda, enggak akan serempak semuanya merasakan hal yang sama, mengalami kejadian yang serupa, sungguh berwarna. Walau begitu Allah sudah pasti memberikan porsi yang pas untuk semua orang, enggak ada kata enggak adil, karena Dia yang paling tahu semua yang terbaik untuk masing-masing diri.

    Dan berwarnanya kehidupan itu sendiri adalah untuk saling mengisi, saling berbagi dan saling berpengaruh satu dengan yang lainnya. Contohnya bisa saja Kakak sedih karena perbuatan kamu. Eh tapi jangan ya kamu bikin Kakak sedih, enggak mau sih dibikin sedih sama kamu…." 
    Ia melirikku sambil tersenyum kali ini, membuat lengkungan juga di bibirku.

    "Humm gitu dong senyum, matamu yang bengkak itu saja sudah bikin mukamu enggak enak dilihat tahu!"
    Aku mencubit tangannya kemudian, tak keras tapi dia berlagak kesakitan, membuat aku semakin keras mencubit tanggannya.

    "Auww sakit Ra!"
    Kali ini ia meringis, kuusap tangannya yang sedikit memerah, aku jadi merasa tak enak juga kemudian.

    "Eh aduh maaf Kak, habis Kakak tuh malah bikin Aira jadi sebel," ucapku.

    "Coba tuh lihat mukamu sendiri di kaca! Liiiihhh"
    Dia malah melekukkan kaca spion di depan dan menghadapkan kaca itu ke arah wajahku.

    "Humm ... bengkak mataku, jelek ya?"
    Aku cemberut sesaat setelah melihat wajahku sendiri di kaca spion.

    "Eh lihat muka Kakak aja kalau gitu!  Lebih bagus dari mukamu, walau cetakan muka kita sama."
Kali ini dia cengengesan, sambil matanya berkedip-kedip jahil melihat ke arahku.

    "Huh, Kak Arya ke Pe-De-an ...."
    Aku memasang muka sedikit sebal, sementara Kak Arya hanya tersenyum saja. Saudaraku yang satu ini memang terkadang menyebalkan, walau sering sekali menjadi tempatku mencurahkan isi hati, kata-kata bijaknya selalu membuat aku tenang. 

    Usia aku dan Kak Arya terpaut 5 tahun, tapi kalau sekilas melihat, orang akan mengira kami ini kembar, karena memang wajah kami begitu serupa walau tapi berbeda jenis kelamin. Sore hari tadi selepas ashar, Kak Arya mengajakku ke tempat ini, sesaat setelah ia melihatku menangis sendirian di kamar. Tanpa banyak kata, langsung saja dibawanya aku ke dalam mobil. 

    "Bengkak matamu itu sebentar lagi juga akan hilang, sama seperti bekas cubitanmu tadi di kulit Kakak, kamu pun sekarang bisa tersenyum kan setelah tadi nangis sampai bikin kaos Kakak basah kena air matamu tuh."
    Kak Arya menunjuk ke arah kaosnya yang sedikit basah, sambil dikibas-kibasnya kini dengan tangannya, aku hanya nyengir saja melihatnya.

    "Tapi, ya itulah dunia Ra, semuanya cuma sementara. Satu hal yang harus kamu ingat, bahwa yang sementara itupun enggak akan sia-sia. Bahkan untuk setiap rasa sakit, sedih, susah dan nggak enak lainnya itupun nggak akan sia-sia Ra. Kamu pernah denger kan hadist riwayat Bukhori, dimana ..."

     "... tidak ada yang menimpa seorang muslim dari kepenatan, sakit yang berkesinambungan, kebimbangan, kepedihan, penderitaan, kesusahan, sampai duri yang tertusuk kepadanya kecuali dengan itu Allah hapus dosanya, Ya Allah...."
Kupotong kalimat Kak Arya kali ini sambil tersenyum, tapi rasanya mata ini kembali berkaca-kaca.

    "Yup, betul! Semoga ya Ra  Allah hapuskan dosa kita melalui setiap hal yang bagi kita buruk, enggak enak dan enggak nyaman itu. Tapi jangan juga kita buat dosa lagi saat kita merasa sakit itu. Atuh percuma itu mah, udah sakit tambah sakit nantinya, nauzubillah.

    Walau enggak mudah itu pasti Ra, iman kita aja bisa naik dan turun, sementara godaan dan ujian itu selalu maunya deket-deket sama kita terus. Syetan enggak akan rela kalau jalan hidup kita mulus aja untuk sampai kita pada ridhonya Allah. Sementara Allah mengijinkan hal itu terjadi untuk menguji iman kita, benar enggak sih kita melakukan semua hal dalam hidup itu untuk Allah, ikhlas karena dan untuk-Nya? Benar enggak sih kita itu pantas mendapat ridho-Nya?

    Tapi enggak akan juga Allah biarin kita hadapin semua ujian itu sendirian. Ya, Allah pasti mau banget nemenin kita terus. Justru kitanya, mau enggak ditemenin sama Allah? Karena kadang-kadang, - eh apa sering ya? Jangan ah sering mah.- Kita itu suka lebih cepet cari manusia daripada Allah, atau bahkan kita merasa bisa menghadapi masalah sendirian. Seperti ambil keputusan tanpa dipikir dulu tentang ridhonya Allah dengan yang kita lakuin?" Sambung Kak Arya kemudian.

    Aku bersegera mengambil tisu dan botol air dingin untuk mengompres kedua mataku, walau sebenarnya ingin bersegera juga kusembunyikan dari Kak Arya bening air mata yang akan tumpah lagi ini. Ah, sudah cukup ia melihat aku menangis hari ini, walau air mata yang keluar kali ini bukanlah karena dunia lagi rasanya, tapi karena hati ini terenyuh akan kasih sayang Allah dan teringat betapa aku tak peka pada-Nya. 
    Ah, malu aku pada-Mu Allah, aku sering kali mengeluh, padahal Kau limpahi aku dengan kasih sayang dan kebaikkan yang berlimpah-limpah. Sementara itu entah berapa kali aku lupa, lalai dan mengabaikan-Mu ... Astagfirullah, ucap batinku.  

    "Hayuuu ah pulang, udah hampir magrib ini, nanti Ummi dan Abi nyariin. Kakak juga mau segera siapin barang untuk besok ke Bogor. Kamu jangan banyak sedih ya Ra, jaga Ummi sama Abi ya, sekolah yang bener dan fokus sama mimpi yang ingin kamu raih."

    Kak Arya lalu memutar kunci mobil, menyalakan dan menjalankannya ke arah rumah kami ditemani langit yang menjingga. Hatiku saat ini sudah terasa lebih lega, lega karena rasa syukur yang teramat sangat kepada-Nya, Allah.... 

Cerita inspirasi lagi untukmu sahabat, disalin dari tulisan saya di Facebook, saat mengikuti tantangan menulis. Semoga bermanfaat dan menginspirasi
Previous article
Next article

Belum ada Komentar

Posting Komentar

Silahkan share saran, kritik, ilmu, inspirasi positifmu di ilmair. Berkomentarlah dengan bijak. Spam akan saya hapus.
Mohon di-setting publik profile blog-nya ya, agar tidak ada profile unknown yang bisa menjadi broken link di blog ini.
Terima kasih ....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel